Kisahabu yazid al bustami | habib jamal bin toha baagil silahkan sh. Imam ja'far shadiq ra memberikan pendidikan maknawiah (batiniah) kepadanya. Hakiki, kekotoran hati tidak akan mendapatkan mutiara cinta yang hakiki tanpa menyelam kearah kedalam lautan ilahi (dhikr). Kakek abu yazid merupakan penganut agama Demikianlah kebiasaannya
ArticlePDF Available AbstractThis article is an analysis of the concepts of fana, baqa and Ittihat promoted by Abu Yazid al-Bustami. The understanding of Fana' which was developed by him is to state that when humans have reached the level of Fana', which means the loss of awareness of the existence of oneself and the environment, then he will be Baqa' which means continuous in the attributes of divinity. Namely, the eternal commendable attributes and attributes of God in humans and the peak is that humans can unite or ittihad with God so that the personal self becomes non-existent and there is only God. This understanding received mixed responses from the scholars. Shari'ah scholars or fiqh experts tend to state that this understanding is misleading and al-Bustami is said to be infidel, some consider it just a deviation and some understand that an understanding based on al-Bustami's expressions cannot be used as a guide because it was conveyed when he was not in his self-consciousness, but is subject to intuition when he is mortal', baqa', and Ittihad. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 155 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © JunaidinKONSEP AL-FANA, AL-BAQA DAN AL-ITTIHAD ABU YAZID AL-BUSTAMI Junaidin STIT Sunan Giri Bima - Indonesia Email junaidinmuhaimin Submit Received Edited Published 06 Juni 2021 23 Juni 2021 07 Juli 2021 08 Juli 2021 DOI ABSTRACT This article is an analysis of the concepts of fana, baqa and Ittihat promoted by Abu Yazid al-Bustami. The understanding of Fana' which was developed by him is to state that when humans have reached the level of Fana', which means the loss of awareness of the existence of oneself and the environment, then he will be Baqa' which means continuous in the attributes of divinity. Namely, the eternal commendable attributes and attributes of God in humans and the peak is that humans can unite or ittihad with God so that the personal self becomes non-existent and there is only God. This understanding received mixed responses from the scholars. Shari'ah scholars or fiqh experts tend to state that this understanding is misleading and al-Bustami is said to be infidel, some consider it just a deviation and some understand that an understanding based on al-Bustami's expressions cannot be used as a guide because it was conveyed when he was not in his self-consciousness, but is subject to intuition when he is mortal', baqa', and Ittihad. Keywords Abu Yazid Al-Bustami, Fana, Baqa, Al-Ittihat ABSTRACT Artikel ini merupakan analisis tentang konsep fana, baqa dan Ittihat yan diusung oleh Abu Yazid al-Bustami. Paham Fana’ yang dikembangkan oleh beliau adalah menyatakan bahwa apabila manusia telah sampai tingkat Fana’ artinya hilangnya kesadaran akan wujud diri dan lingkungannya, maka ia akan Baqa’ yang artinya berkesinambungan didalam sifat-sifat ketuhanan. Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan puncaknya adalah manusia dapat menyatu atau ittihad dengan Tuhan sehingga diri pribadi menjadi tiada dan yang ada hanya Tuhan semata-mata. Paham ini mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan ulama. Ulama syari’ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan al-Bustami dikatakan kafir, sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan al-Bustami tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia tidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketikas ia fana’, baqa’, dan Ittihad. Kata Kunci Abu Yazid Al-Bustami, Fana, Baqa, Al-Ittihat F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 156 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © JunaidinPENDAHULUAN Dalam dunia tasawuf sufisme terdapat beberapa konsep ajaran yang masing-masing dipelopori oleh tokoh-tokoh yang populer seperti, Al-Gazali yang dikenal dengan konsep al-Ma’rifah-nya dan Rabiyatul al-Adawiyah dengan konsep Mahabbah-nya, Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran al-fana’, al-baqa’ dan al-ittihad-nya dan Husain Ibn Mansur al-Hallaj dengan ajaran al-Hulul-nya. Sebagai pembawa dan penyebar ajaran fana’, baqa’ dan ittihad dalam tasawuf, abu yazid Al-Bustami adalah salah seorang tokoh yang memberikan warna baru tasawuf dengan statemen-statemenya yang berani tapi menuai kontraversi dari berbagai Yang kemudian menjadi hal menarik untuk dikaji dan difahami. Konsep tasawuf yang diusung abu yazid al-Bustami tidak jauh berbeda dengan konsep hulul. Namun menurut pendapat ulama yang lain, al-bustami justru dianggap terlalu terlena dengan fantasinya tanpa ada upaya pengendalian diri. Abu yazid al-Bustami yang bernama lengkap Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam persia pada tahun 874-947 M. Nama kecilnya Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama zoroaster, kemudia memeluk agama Islam sebagai keyakinan terakhirnya di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk golongan orang yang berada didaerahnya, namun dia memilih hidup yang Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, abu yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan Sewaktu Abu Yazid remaja, dia dikenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu ketika gurunya menerangkan suatu ayat dari surat luqman yang berbunyi; “berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, dia terlebih dahulu menjadi seorang faqih dari 1 Qasim Muhammad Abbas, Abu Yazid al-Bustami al-majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah Damaskus Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr, 2004, h. 4. 2 Fariduddin Al-Aththar, Warisan Para Auliya’ Bandung Pustaka, 1983, h. 128. 3 Fariduddin Al-Aththar, Warisan para auliya’, h. 128. 4 Fariduddin Al-Aththar, Warisan Para Auliya’, h. 129. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 157 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidinmazhab hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal ialah Abu Ali as-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di syam, hanya dengan tidur, makan dan minum yang sedikit Abu yazid meninggal di Bustham pada tahun 261 H/947M. Beliau ialah salah seorang Sultan Aulia, yang merupakan salah seorang Syech yang ada di silsilah dalam Thariqah Suhrawardiyah dan beberap Tahriqah lain. PEMBAHASAN Konsep Al-Fana’, Al-Baqa’ dan Al-Ittihad Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah. Pertama,aliran sufi yang pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para sufinya adalah para ulama terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua, adalah aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan fana’ sering mengucapkan kata-kata yang ganjil yang terkenal dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia berada digerbang Mereka menumbuhkan konsep-konsep manusia melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung metafisis. Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan segi bahasa al-Fana’ berarti binasa, 7 Fana’ berbeda dengan al-Fasad rusak. Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. 8 Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, 5 M. M. Syarif, A History of Muslim Philosophy Vol. I; Wiesbaden Otto harrassowitz, 1966, h. 342. 6 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam Jakarta Bulan Bintang, 1992, h. 53. 7 Lois Ma’luf, al munjid fil lughah, Beirut al maktabah al katholikiyah, 1956, h. 597. 8 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 231. 9 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 232. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 158 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidinalam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin. Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan basyariah telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebagaimana ungkapan mereka ”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.11 Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur kedalam eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya. Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud 10 Mustafa Zahri, kunci Memahami Tasawuf, Surabaya Bina Ilmu, 1985, h. 234. 11 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 233. 12 Al Qusyairiy, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang 1983, h. 81. 13 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, h. 73. 14 Mohamad Iyad al Syathi, Makanah al Tasawuf wa al Sufiyah fi al Islam, Kairo al Arabiy, tt, h. 100. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 159 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidinjasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani. Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya. Al-Kalabazi menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.16 Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal Tuhan yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun. 17 Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu 15 Al Kalabazi, Al Ta’aruf Madzhab al Tasawuf, Kairo Maktabah al Kulliyahal al Anhadiah, 1969, h. 152. 16 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, h. 78. 17 Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan 1981/1982, h. 160. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 160 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidinmemanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku”.18 Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan. Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti, “Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku”. Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid al-Bustami dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.19 Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan inhiraf bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi a penyatuan substansial antara jasad dan ruh; b penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya; d penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e hubungan antara suatu benda dengan Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh. Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/1240 M. Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj. 21 Paham fana’, Baqa’, dan 18 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 235. 19 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 237. 20 Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta Rajawali Press, 1994, h. 308. 21 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, h. 92-93 F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 161 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © JunaidinIttihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya; Terjemahnya Katakanlah Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". al-Kahfi, 18 110.22 Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata “Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana”.23 Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid “Tuhan berkata semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah Sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan. Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami. Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat dikategorikan sebagai paham yang 22 Departemen Agama, Qur’an dan Terjemahannya, Bandung Penerbit Jabal, 2010 h. 304. 23 Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 160. 24 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, h. 80. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 162 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidinmenyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya “Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku” yang telah dikemukakan diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana’. Namun kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa tidak dalam keadaan Fana’ yang mengatakan “kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar,walaupun dia sanggup terbang di udara maka janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”, maka dapat dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari’at. Memang ungkapan-ungkapan al-Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat lidah al-Bustami yang sedang dalam keadaan Fana’al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan25 “Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana”. Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya menimbulkan berbagai tanggapan. Al-Tusi mengatakan Ucapan ganjil al-Syaht adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi Seorang sufi yang sedang trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami oleh pendengarnya. Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. Menurut pendapat yang mengatakan ketika Fana’ hilang sifat-sifat mereka dan masuk sifat-sifat Yang Maha Benar adalah keliru, karena dapat mengantar mereka kepada Hulul atau penyatuan manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat dalam kalbu adalah keimanan kepada-Nya, pembenaran kepada-Nya dan 25 Abd Qodir Mahmud, Al Falsafah al Saufiyah fi al Islam, Kairo Dar al Fikr Al Arabiy, 1966, h. 310 26 Abd Qodir Mahmud, Al Falsafah al Saufiyah fi al Islam, h. 310 F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 163 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidinpengenalan akan dia. Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri dan perkataan tersebut tidak akan terucap dalam kondisi normal bahkan akan ditolak oleh dirinya Al-Junaid mengatakan bahwa seorang sufi yang dalam keadaan trance tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia sangat terbuai sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi menilai bahwa al-Bustami adalah termasuk para sufi yang tidak bisa mengendalikan diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak bisa menjadi panutan sufi lainnya. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi yang trance dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dilaksanakan. Semantara itu ulama yang berpegang teguh kepada syari’at secara zhahir menuduhnya sebagai sufi kafir karena menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama yang lain mentolerir ucapan semacam itu dianggap sebagai penyelewengan dan bukan Berdasarkan pendapat-pendapat diatas ternyata ungkapan-ungkapan al-Bustami disampaikan dalam keadaan Fana’ dan tidak dapat dijadikan pedoman karena diucapkan dalam keadaan tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yang sempurna, oleh sebab itu, tidaklah tepat kalau ia dituduh sebagai seorang sufi yang kafir. Lagi pula faham Fana’ dan Baqa’ yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu dapat dipandang sejalan dengan konsep liqa dan Baqa’ merupakan jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya. Konasep Fana’ dan Baqa’ ini juga di ilhami dari isyarat ayat yang berbunyi 27 Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Kairo dar at Tsaqafah li al nasyr wat Tauzi’ 1983, terj Ahmad Rafi’ Usmani bandung Pustaka 1997, h. 117. 28 Departemen agama, Ensiklopedi Islam Jakarta 1993, h. 263. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 164 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidin Terjemahannya Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. QS. Ar-Rahman, 55 26-27.29 Merujuk pada uraian tersebut, konsep yan diusung oleh Abu Yazid al-Bustami tidak berbeda jauh dengan konsep al-Halaj. Konsep al-Ittihat yan diusungnya juga mengarah pada sikap seolah-olah Allah Swt telah mengambil alih dirinya. Sehingga muncul anggapan bahwa ia adalah Allah dan Allah adalah dia. Jika konsep ini terus dipakai, maka akan semakin banyak orang yang menganggap hal tersebut sudah melenceng dari ajaran aama Islam. Sebab orang-orang awam yang maqamnya rendah, akan mudah terjerumus pada kesesatan. KESIMPULAN Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang hidup pada abad ketiga hijrah. Beliau dipandang sebagai orang yang mempelopori paham Fana’ dan Baqa’ dan Ittihad. Sebelum bekliau bergelut dengan dunia tasawuf, beliau mempelajari fiqh terutama mazhab Hanafi. Paham Fana’ yang dikembangkan oleh beliau adalah menyatakan bahwa apabila manusia telah sampai tingkat Fana’ artinya hilangnya kesadaran akan wujud diri dan lingkungannya, maka ia akan Baqa’ yang artinya berkesinambungan didalam sifat-sifat ketuhanan. Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan puncaknya adalah manusia dapat menyatu atau ittihad dengan Tuhan sehingga diri pribadi menjadi tiada dan yang ada hanya Tuhan semata-mata. Paham ini mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan ulama. Ulama syari’ah atau ahli fiqh cenderung menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan al-Bustami dikatakan kafir, sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi memahami bahwa paham yang didasarkan pada ungkapan-ungkapan al-Bustami tidak dapat dijadikan pedoman sebab disampaikan ketika ia 29 Departemen Agama, Al Qur'an dan terjemahnya, h. 886 F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 165 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © Junaidintidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketikas ia fana’, baqa’, dan Ittihad. DAFTAR PUSTAKA Abd Qodir Mahmud, Al Falsafah al Saufiyah fi al Islam, Kairo Dar al Fikr Al Arabiy, 1966. Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Kairo dar at Tsaqafah li al nasyr wat Tauzi’ 1983, terj Ahmad Rafi’ Usmani, Bandung Pustaka 1997. F i T U A Jurnal Studi Islam STIT Sunan Giri Bima 166 P-ISSN 2721-186X E-ISSN 2721-365X Copyright © JunaidinAbuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2002. Al Kalabazi, Al Ta’aruf Madzhab al Tasawuf, Kairo Maktabah al Kulliyahal al Anhadiah, 1969. Al Qusyairiy, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang 1983. Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta Rajawali Press, 1994. Departemen Agama, Qur’an dan Terjemahannya, Bandung Penerbit Jabal, 2010. Fariduddin Al-Aththar, Warisan Para Auliya’ Bandung Pustaka, 1983. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta Bulan Bintang, 1992. Lois Ma’luf, al munjid fil lughah, Beirut al maktabah al katholikiyah, 1956. M. M. Syarif, A History of Muslim Philosophy. Vol. I; Wiesbaden Otto harrassowitz, 1966. Mohamad Iyad al Syathi, Makanah al Tasawuf wa al Sufiyah fi al Islam, Kairo al Arabiy, tt. Mustafa Zahri, kunci Memahami Tasawuf, Surabaya Bina Ilmu, 1985. Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan 1981/1982. Qasim Muhammad Abbas, Abu Yazid al-Bustami al-majmu’ah as-Shufiyah al-Kamilah. Damaskus Dar al-Mada li at-Tsaqafah wa an-Nasyr, 2004. Sayyid husain, William C. Chittick, Leonard lewisohn, Warisan sufi, Cet, I; Jogjakarta Terjemahan Tim Pustaka Sufi, 2003. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this PT Raja Grafindo PersadaAbuddin NataAkhlak TasawufAbuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, Al-Aththar, Warisan Para Auliya' Bandung PustakaDepartemen AgamaQur'an Dan TerjemahannyaDepartemen Agama, Qur'an dan Terjemahannya, Bandung Penerbit Jabal, 2010. Fariduddin Al-Aththar, Warisan Para Auliya' Bandung Pustaka, M SyarifM. M. Syarif, A History of Muslim Philosophy. Vol. I; Wiesbaden Otto harrassowitz, 1966. AbuYazid Al-Bustami; Kandungan Yang Luar Biasa Terpelihara ===== Tahun 188H, lahir seorang ulama sufi; AbuBayazid Bastami, also known as Abu Yazid Bistami or Tayfur Abu Yazid al-Bustami, 804-874 or 877/8 CE was a Persian Sufi born in Bastam, Iran. When Bayazid died he was over seventy years old. Before he died, someone asked him his age. He said “I am four years old. For seventy years I was veiled. I got rid of my veils only four years ago.” Twelve years I have been smith of myself, until I have made of myself a clear mirror. They asked Bayazid, “When does a man become a man?” He said, “When he knows the mistakes of his self and he busies himself in correcting them.”
Keywords Biography, Concept, Teachings, Abu Yazid Al-Bustami Abstract Concept is an abstraction of an idea or mental image, which is expressed in a word or symbol, the concept is also expressed as part of knowledge built from various characteristics. Doctrine is everything that is taught; advice; The teachings of Abu Yazid were the first Sufi to carry the teachings of al-fana, al-baqa, and ittihad, which is a teaching on the concept of nullifying oneself body, in which spiritual consciousness is eternal when united with Him.